KEBIJAKAN EKONOMI MAKRO MASA KRISIS
Yulius
0. PENDAHULUAN
Sejak dimulainya krisis ekonomi
global yang terus berlanjut hingga saat ini—paling tidak sejak dari krisis ekonomi
Jepang awal tahun 1990an, krisis Asia Timur tahun 1997/98, krisis keuangan
global 2008, dan perkiraan akan terjadinya krisis utang pemerintah di kawasan
eropa tahun 2012/13—paradigma pemikiran kebijakan ekonomi makro mulai mengalami
pergeseran.
Sampai
dengan awal tahun 1980an, secara umum kebijakan ekonomi makro berlandaskan pada
pemikiran antara lain sebagai berikut. Pertama, kebijakan moneter hanya satu
target, yaitu menjaga inflasi yang stabil, dengan satu instrumen: pengendalian suku bunga
bank sentral (misalnya, di Amerika Serikat
suku bunga Federal Reserve, di
Indonesia suku bunga Bank Indonesia).
Premis yang mendasari adalah selama tingkat inflasi dapat dijaga stabil, dan output gap dapat dipertahankan rendah, maka kebijakan moneter
telah melakukan tugasnya dengan baik.
Kedua,
peran kebijakan fiskal berada pada posisi dibelakang setelah kebijakan moneter,
alasan utamanya adalah: selama kebijakan moneter telah dianggap mampu untuk
memperkecil output gap, maka
kebijakan lainnya kurang diperlukan.
Pemikiran yang menjadi pertimbangan tersebut, antara lain, adalah (i) argumen skeptis tentang pentingnya
kebijakan fiskal yang dilandasi oleh pemikiran Ricardian Equivalence dan (ii) untuk
mengeksekusi kebijakan fiskal membutuhkan keputusan politik yang lama, sehingga
terdapat time lag yang panjang.
Ketiga,
seringkali kebijakan moneter yang dilakukan tidak memperhatikan implikasinya
terhadap lembaga keuangan,
demikian juga sebaliknya, sehingga tidak terdapatnya sinkronisasi antara
kebijakan ekonomi makro dan regulasi
& supervisi yang dilakukan pada lembaga
keuangan. Misalnya, kebijakan moneter menaikkan suku bunga tidak memperhatikan
apakah bank telah mematuhi regulasi dan supervisi terkait dengan aturan memberikan
pinjaman kepada masyarakat (perusahaan) untuk sektor beresiko tinggi ataupun
tidak, karena bila terjadi kenaikan suku bunga secara mendadak dan sangat
tinggi (melakukan penyesuaian ekonomi untuk mengerem terjadi depresiasi tajam
bilai tukar) akan menyebabkan harga aset (sektor beresiko tinggi, misalnya
properti) menjadi turun tajam
Sejalan dengan
semakin seringnya krisis ekonomi global sejak awal tahun 1990an, paradigma
kebijakan ekonomi makro bergeser menjadi, antara lain. Pertama, kebijakan moneter saat
krisis yang dilakukan bank sentral di Jepang (Bank of Japan, BoJ) pada awal tahun
1990an untuk menstabilkan ekonomi, telah dikritisi kurang mampu mendorong
ekonomi untuk pulih dikarenakan kebijakan moneter tidak efektif dilakukan dalam
kondisi liquidity trap. Suku bunga nominal yang ditetapkan BoJ sangat rendah, sehingga
BoJ tidak mempunyai ruang
untuk menerapkan kebijakan moneter.
Kedua, krisis ekonomi 1997/98
yang dialami negara-negara di Asia Timur (termasuk Indonesia) memperlihatkan
bahwa kebijakan uang ketat yang bertujuan untuk meredakan depresiasi rupiah
tidak memperhitungkan kondisi perbankan dan perusahaan domestik. Kenaikan suku
bunga yang tinggi telah menyebabkan
turunnya harga aset (terutama sektor properti, misalnya apartemen), selanjutnya, turunnya harga sektor properti
(yang
sebelumnya bank telah meminjamkan
secara
besar-besaran
ke sektor properti pada masa ekonomi boom) menyebabkan neraca
keuangan perbankan menjadi buruk akibat kenaikan suku bunga tinggi, selain
dikarenakan turunnya harga apartemen yang sebelumnya digunakan sebagai kolateral, juga dikarenakan perusahaan mengalami
kesulitan untuk membayar utang (non
performing loan membengkak) dalam masa krisis.
Ketiga, krisis
global 2008 telah menyebabkan hampir sebagian besar negara (termasuk negara maju
maupun berkembang) bertumpu
kepada kebijakan fiskal untuk melakukan stimulus ekonomi. Alasan praktisnya adalah,
antara lain: (i) krisis tidak dapat diselesaikan hanya dalam waktu kurang dari
satu tahun (long lasting), sehingga
pada tahun berikutnya pemerintah dapat melakukan stimulus ekonomi untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi; dan
(ii) kebijakan fiskal dapat lebih mudah untuk mendorong sektor riil dan
mengurangi dampak krisis untuk masyarakat miskin (pro poor) dengan cepat, dan secara langsung dapat mendorong
konsumsi masyarakat, sehingga pada gilirannya pertumbuhan ekonomi tetap terjaga
kesinambungannya.
Berdasarkan
kondisi diatas, tulisan ini mempunyai argumen bahwa kebijakan ekonomi makro
pada masa krisis, yang juga diiringi oleh gejolak dinamika perekonomian yang
semakin tidak pasti (uncertain), telah
mengalami pergeseran paradigma baik dalam pemikiran maupun dalam implementasinya.
Tulisan singkat ini dibagi dalam
beberapa pokok bahasan: (i)
paradigma kebijakan ekonomi makro pada masa stabil sejak sebelum awal 1980an (ii) implementasi kebijakan
ekonomi makro sejak terus berulangnya krisis ekonomi sejak awal 1990an (iii) formulasi kebijakan ekonomi makro
yang lebih tepat, sejalan dengan perubahan dinamika ekonomi pada masa mendatang
yang diliputi oleh ketidakpastian, dan semakin seringnya krisis ekonomi (iv) merupakan kesimpulan.
1. KEBIJAKAN
EKONOMI MAKRO MASA STABIL
Secara garis besar kebijakan
ekonomi makro pada masa ekonomi stabil (normal) dilandasi pemikiran antara lain
sebagai berikut:
Inflasi
yang stabil
merupakan target utama yang
ditujukan kepada bank sentral,[2]
target ini dilandasi
oleh dua premis. Pertama,
reputasi gubernur bank sentral sangat dipertaruhkan apakah mampu mengendalikan
inflasi atau tidak; dan keinginan yang tinggi bagi bank sentral untuk memerangi
inflasi yang tinggi sejak tahun 1970an. Kedua, dukungan intelektual yang
diberikan oleh mahzab New Keynesian,
dalam mahzab ini dikatakan bahwa inflasi yang konstan dan stabil merupakan
kebijakan optimal untuk mendorong
terjadinya zero output gap.[3]
Kedua alasan tersebut dapat diartikan bahwa sekalipun
pembuat kebijakan sangat memperhatikan (perduli) dengan perilaku dan gejolak
aktivitas perekonomian, maka
hal terbaik yang dapat dilakukan oleh pembuat kebijakan adalah tetap menjaga
inflasi yang stabil, tidak
perduli apakah ekonomi berada dalam kondisi chaos;
terjadi shock ekonomi yang menyebabkan
preferensi konsumen berubah; terjadi
perubahan teknologi; ataupun terjadi kenaikan harga minyak dunia. Tetap saja
tujuan utama bagi pembuat kebijakan ekonomi makro adalah menjaga inflasi agar
tetap terkendali.
Namun
demikian, dalam prakteknya retorika mengendalikan inflasi tidak sejalan dengan
realitas yang ada. Hanya beberapa bank sentral yang benar-benar mampu
mengendalikan inflasi. Dalam implementasinya yang terjadi adalah kebanyakan
bank sentral melakukan (i) kebijakan “flexible
inflation targeting”, artinya tetap menjaga inflasi untuk stabil, namun
dalam tingkat yang relatif tidak rendah (ii) membiarkan headline inflation untuk berubah, core inflation tetap dijaga stabil, namun harga lainnya mengalami
kenaikan, yaitu administrated price (misalnya, kenaikan
harga minyak) dan kenaikan harga aset (sektor perumahan, saham; dan nilai
tukar).
Terdapat konsensus kuat bahwa inflasi tidak
hanya stabil tetapi harus juga rendah (sebagian
besar bank sentral mentargetkan sekitar 2 persen). Rendahnya inflasi ini menggiring
kepada sebuah diskusi mengenai dampak rendahnya inflasi terhadap kemungkinan
terjadinya posisi liquidity trap,[4]
artinya sejalan dengan rendahnya inflasi adalah rendahnya suku bunga nominal,
sehingga mengakibatkan upaya untuk menurunkan suku bunga nominal menjadi sulit,
dengan kata lain ruang untuk melakukan ekspansi kebijakan moneter dalam masa
krisis menjadi terbatas.
Namun, kekhawatiran terjadinya
posisi liquidity trap karena
rendahnya inflasi mendapatkan bantahan/kritikan. Alasannya adalah: semasa bank
sentral dapat menjaga komitmennya untuk menaikkan pertumbuhan jumlah uang
beredar maka diperkirakan
inflasi
akan tetap tinggi. Dengan demikian, bank sentral diharapkan akan dapat menggiring masyarakat mempunyai
ekspektasi: (i)
inflasi akan naik (ii) suku bunga akan turun; dan pada gilirannya (iii)
pertumbuhan ekonomi akan tinggi. Selanjutnya, bila terjadi shock
terhadap perekonomian dalam skala kecil, maka 2 persen inflasi bisa menyediakan
bantalan yang cukup bagi bank sentral untuk
melakukan ekspansi moneter. Kesimpulannya, fokus kebijakan moneter adalah pentingnya menjaga komitmen dan kemampuan
bank sentral untuk mempengaruhi ekspektasi inflasi dan suku bunga pada masa
mendatang.
Sebagai contoh, peristiwa terjadinya kondisi liquidity trap pada masa depresi besar (great depression) tahun 1930an, yang diiringi dengan terjadinya
deflasi sangat signifikan dan suku bunga sangat rendah, hanyalah merefleksikan
terjadinya salah dalam pengambilan kebijakan (policy error) yang seharusnya dapat dihindari, yaitu bank sentral tidak mampu
mempengaruhi ekspektasi masyarakat terkait dengan inflasi dan suku bunga.
Contoh lain
terjadi pasa saat masa krisis ekonomi di Japang tahun 1990an, saat itu terjadi deflasi, suku bunga nominal
mendekati nol,
dan terus menurunnya aktivitas ekonomi. Namun, BoJ tidak berkomitmen untuk
menaikkan pertumbuhan jumlah uang beredar dan menaikkan ekspektasi inflasi, dan
sebagai
akibatnya yang terjadi adalah perlambatan aktivitas ekonomi di Jepang.[5]
Kebijakan moneter hanya berfokus pada satu instrumen, yaitu
kebijakan pengendalian suku bunga, yang dimaksud adalah suku bunga jangka pendek dimana
bank sentral secara langsung dapat mengendalikan operasi pasar terbuka (open market operation). Alasan pemilihan
kebijakan suku bunga ini dilandasi oleh dua asumsi. Pertama, dampak riil kebijakan
moneter terjadi melalui suku bunga dan harga aset, bukannya melalui kebijakan
secara langsung mempengaruhi jumlah uang beredar.[6]
Kedua, seluruh suku bunga dan harga aset dihubungkan melalui mekanisme arbitrage,[7]
sehingga tingkat suku bunga jangka panjang merupakan nilai rata-rata tertimbang
dari (i) penyesuaian resiko suku bunga jangka pendek pada masa mendatang; dan
(ii) penyesuaian harga aset yang secara mendasar merupakan penyesuaian resiko
dari nilai saat ini (present value) pada harga aset.
Berlandaskan
dari dua asumsi tersebut, maka bank sentral hanya butuh untuk mempengaruhi
ekspektasi satu suku
bunga jangka pendek (suku bunga bank sentral), dengan demikian suku bunga lainnya
secara otomatis akan mengikuti. Dengan demikian, melakukan intervensi pada
lebih satu pasar, misalnya pada suku bunga jangka pendek dan juga suku bunga
jangka
panjang untuk pasar obligasi, merupakan kebijakan yang tidak konsisten; dan bentuk dari pengulangan kebijakan (redundant). Implikasinya, secara implisit maupun eksplisit, kebijakan moneter harus dilakukan
secara transparan,
dapat diprediksi (predictable), dan
sejalan dengan Tailor Rule,[8]
yaitu kebijakan suku bunga yang merupakan
fungsi dari lingkungan perekonomian saat ini.
Kedua
asumsi diatas juga mendasari, bahwa kebijakan moneter tidak terlalu berdampak
signifikan terhadap lembaga keuangan, kecuali terhadap industri perbankan
(terutama sekali bank komersial), dengan alasan antara lain sebagai berikut:
Kredit perbankan dianggap
sebagai suatu yang unik, dalam artian tidak dapat disubtitusikan dengan
mekanisme kredit dari lembaga keuangan lainnya, sehingga hal ini menggiring
tentang pentingnya jalur kredit (credit
channel) dimana kebijakan moneter juga dapat mempengaruhi kegiatan ekonomi
melalui jumlah cadangan bank (quantity of
reserve), dan pada akhirnya jumlah kredit bank yang disalurkan kepada masyarakat.
Perbankan merupakan
lembaga yang mentranformasikan likuiditas, berasal dari tabungan deposito (sifatnya jangka pendek)
selanjutnya disalurkan kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman (sifatnya jangka
panjang). Bila terjadi krisis, dan bank sentral selanjutnya menerapkan kebijakan
kenaikan suku bunga, maka dikhawatirkan
akan terjadi mismatch dalam neraca
keuangan bank. Krisis—yang menyebabkan deposan menarik dananya dari bank—akan
mendorong terjadinya bank run [9]karena
deposan menarik uangnya dari bank, sementara bank kehabisan dana (butuh waktu
lama bagi peminjam mengembalikan uangnya karena bersifat jangka panjang).
Dengan
demikian, dari alasan pentingnya kebijakan monter terhadap industri perbankan
tersebut, maka diperlukannya (i) regulasi dan supervisi untuk sektor perbankan
(ii) perlu adanya lembaga penjamin deposito; dan (iii) juga pentingnya bank
sentral menjadi penyangga terakhir (lender
of the last resort) bila terjadi krisis perbankan. Namun, perhatian terhadap
lembaga keuangan lainnya dianggap tidak dibutuhkan untuk menyusun kebijakan
ekonomi makro.
Kebijakan fiskal tidak mempunyai peran
besar dalam konteks kebijakan makro. Setelah terjadi depresi besar dunia
tahun 1930an dan munculnya pemikiran Keynes,
kebijakan fiskal dianggap sebagai alat utama kebijakan ekonomi makro.
Selanjutnya, tahun 1960an dan 1970an, kebijakan fiskal dan moneter merupakan
kebijakan yang mempunyai fungsi setara, dimana kedua instrumen tersebut
merupakan alat mencapai dua target keseimbangan ekonomi, yaitu target keseimbangan internal
dan eksternal (internal dan external balance).[10]
Namun
demikian, dalam dua dekade belakangan ini, kebijakan fiskal berada dibelakang
kebijakan moneter, dengan alasan antara lain, sebagai berikut. Pertama,
terdapat pandangan skeptis terhadap dampak kebijakan fiskal terhadap
perekonomian yang sebagian besar dilandasi argumen Ricardian Equivalence.[11]
Kedua, jika kebijakan moneter dapat menjaga stabilitas output gap, sangat kecil alasan untuk menggunakan instrumen lainnya,
dalam konteks ini, penolakan kebijakan fiskal sebagai alat untuk penyesuaian
terhadap gejolak perekonomian disebabkan telah makin berkembangnya pasar
keuangan yang mendorong efektifitas kebijakan moneter. Ketiga, belum dalamnya
pasar obligasi (terutama di negara berkembang) menyebabkan kurang pentingnya
kebijakan fiskal.
Keempat, terjadinya lag dalam menyusun
dan mengimplementasikan kebijakan fiskal, bersamaan dengan pendeknya waktu krisis
dan resesi yang terjadi, mengimplikasikan bahwa kebijakan fiskal datang
terlambat untuk mendorong perekonomian. Kelima, kebijakan fiskal lebih banyak
terdistorsi oleh kebijakan politik, dibanding kebijakan moneter.
Penolakan
terhadap kebijakan fiskal sebagai alat untuk menstabilkan ekonomi sangat kuat
secara akademis. Namun demikian, dalam prakteknya, retorika akademis tidak lebih
kuat dibanding realitasnya. Stimulus
kebijakan fiskal secara umum diterima dalam menghadapi kejadian shock dalam perekonomin (sebagai contoh, selama
terjadi krisis ekonomi di Jepang awal tahun 1990an). Bahkan pembuat kebijakan menggunakan
kebijakan fiskal selama masa resesi ekonomi yang normal (normal recessions). Tambahan pula, secara prinsip kebijakan fiskal
dianggap baik (walaupun sangat elusif dalam prakteknya) untuk negara berkembang yang mempunyai keterbatasan
automatic stabilizer.[12]
Hal inilah yang menyebabkan sering dibutuhkannya kebijakan fiskal yang
berhati-hati pada masa pertumbuhan ekonomi tinggi, dan untuk kasus negara berkembang,
yang perlu
dilakukan adalah memperkuat kebijakan fiskal yang bersifat automatic stabilizer.
Sebagai
akibatnya, fokus kebijakan fiskal lebih cenderung untuk menjaga kesinambungan
utang dan fiskal secara keseluruhan. Untuk kebijakan yang bersifat jangka
panjang, bagi negara maju fokus kebijakan fiskal adalah mengurangi dampak
ketergantungan population aging[13] pada masa mendatang, sementara itu,
untuk emerging countries, fokus
kebijakannya adalah mengurangi terjadinya gagal bayar utang (default) bila terjadi krisis.
Regulasi dan supervisi terhadap
sistem keuangan bukanlah merupakan bagian yang menjadi perhatian dari pembuat
kebijakan ekonomi makro, demikian pula sebaliknya. Dengan mengabaikannya dampak kebijakan ekonomi makro
terhadap lembaga keuangan, regulasi dan supervisi terhadap lembaga keuangan hanya
berfokus dengan memperhatikan apa yang terjadi terhadap lembaga keuangan dan
pasar lembaga keuangan tersebut saja.
Sebagaimana
kita ketahui, tujuan
dari regulasi dan supervisi terhadap lembaga keuangan adalah mentargetkan
terbentuknya lembaga keuangan yang sehat, yang pada akhirnya bisa menghindari
terjadinya kegagalan pasar disektor keuangan disebabkan oleh informasi
asimetris (asymmetric information),
keterbatasan sumberdana keuangan; dan terjadinya ketidaksempurnaan pasar disebabkan oleh
terdapatnya garansi pemerintah secara implisit ataupun eksplisit bila lembaga
keuangan mengalami krisis.
Namun
demikian, supervisi dan regulasi seperti diuraikan diatas belum terlaksana
dengan sempurna, terutama di negara berkembang, disebabkan aturan pelaksanaan
supervisi dan regulasi tersebut belum dapat diterapkan
dengan konsisten dan tegas; dan juga tidak
memperhitungkan bila terjadi perubahan kebijakan makro.[14]
Contohnya, kebijakan penaikan suku bunga dalam upaya mengurangi krisis mata
uang (dalam upaya untuk mengurangi
depresiasi mata uang yang tajam) akan berdampak buruk pada neraca keuangan bila
(i) bank sangat besar memberikan pinjaman dana untuk sektor yang beresiko
tinggi (misalnya pasar aset: saham; sektor properti; nilai tukar) dikarenakan lemahnya
regulasi dan supervisi perbankan, sehingga bila terjadi kenaikan suku bunga
secara mendadak karena krisis akan menurunkan harga aset yang pada gilirannya akan
menumpuknya non performing loan, sehingga perusahaan
kesulitan membayar utang akibat naiknya suku bunga (ii) bank mempunyai sifat
memberikan pinjaman dalam jangka panjang; dan menerima deposito dalam jangka
lebih pendek, bila mismatch ini tidak
diatur dengan secara tegas dan prudensial maka kebijakan kenaikan suku bunga
secara mendadak pada masa krisis akan memperburuk neraca keuangan perbankan
(iii) aturan prudensial yang tidak membatasi bank (atau mempersyaratkan
memberlakukan hedging) untuk meminjam
uang dengan mata uang asing akan memperburuk neraca keuangan perbankan bila
terjadi depresiasi mata uang yang tajam pada masa krisis.
2. KEBIJAKAN
EKONOMI MAKRO MASA KRISIS
Sejak
awal 1990an, yang ditandai dengan semakin seringnya terjadi krisis ekonomi dan
perubahan dinamika perekonomian yang semakin tidak pasti, telah mendorong
beberapa pergeseran pemikiran dan implementasi
kebijakan ekonomi makro,
antara lain:
Inflasi yang stabil merupakah hal penting,
namun tidak cukup (it is necessary but
not sufficient). Di negara maju, pada kenyataannya core inflation berada dalam kondisi stabil (rendah) pada saat
sebelum krisis dimulai.
Berdasarkan kondisi ini maka muncul argumen bahwa core
inflation
bukanlah alat ukur yang tepat untuk menjamin tidak terjadinya krisis ekonomi. Sehingga
timbul pemikiran bahwa pembuat
kebijakan perlu memperhatikan kenaikan harga minyak dan harga aset untuk
menghitung inflasi.
Argumen
diatas tentunya tidak sejalan dengan kesimpulan yang didapatkan secara teoritis
(yang menyarankan untuk menggunakan indeks sejalan dengan penentuan ketegaran
harga/sticky prices, yaitu
menggunakan core inflation) yang
merefleksikan bahwa sudah cukup hanya berfokus kepada satu indeks, semasa
indeks tersebut rendah dan stabil. Dengan demikian, krisis ekonomi membuat policy maker tidak hanya bisa percaya hanya pada satu indeks
saja seperti halnya core inflation.
Dengan
demikian, bisa saja terjadi kondisi inflasi yang stabil namun output gap dapat berbeda-beda (bisa besar ataupun
kecil), sehingga seringkali terjadi trade
off antara inflasi dan output gap,
trade off tersebut adalah inflasi
rendah atau stabil namun output gap
besar, sehingga hal ini tidak
sejalan dengan Mahzab New Keynesian. Seperti
yang terjadi pada masa sebelum krisis tahun 1990an, inflasi dan output gap
stabil, namun perilaku beberapa harga aset, jumlah kredit yang disalurkan ke perbankan; dan komposisi output (komposisi
yang mendorong inflasi, misalnya terlalu tingginya investasi untuk sektor perumahan,
atau terlalu tingginya tingkat konsumsi, atau terlalu besarnya defisit neraca
transaksi berjalan) merupakan pencetus terjadinya inflasi tinggi.
Inflasi rendah dapat membatasi ruang gerak kebijakan
moneter dalam masa krisis. Ketika krisis
global yang dimulai pada awal 1990an yang ditandai dengan melemahnya sisi
permintaan (aggregate demand) dari
PDB, hampir sebagai besar bank sentral (terutama di negara maju) secara cepat
melakukan kebijakan moneter menurunkan suku bunga hingga mendekati nol. Untuk
kasus Amerika, berdasarkan Taylor Rule
telah diestimasi masih terdapat ruang untuk menurunkan suku bunga hingga 3-5
persen, namun kondisi terdapatnya batas suku bunga nominal mendekati nol, telah menyebabkan
bank sentral enggan untuk menurunkan suku bunga.
Sebagai implikasinya,
banyak negara yang menggantungkan harapan kepada kebijakan fiskal dan berupaya
untuk memperbesar defisit anggaran, dibandingkan menggunakan kebijakan moneter dikarenakan adanya terdapatnya suku bunga
nol yang membuat bank sentral tidak berkeinginan menurunkan suku bunga nominal
untuk pendorong pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan
kondisi diatas, hampir sebagian bank sentral menghindari terjadinya: deflasi yang makin besar; suku bunga riil yang
makin besar; dan output gap yang
makin besar. Sehingga terbukti terjadinya suku bunga nominal mendekati nol
mempunyai dampak negatif yang besar. Dengan demikian, paradigma yang muncul pada masa
krisis adalah, inflasi yang lebih tinggi dan juga suku bunga nominal yang
tinggi akan memberikan ruang bagi bank sentral melakukan kebijakan moneter, dan pada
akhirnya aktivitas perekonomian dapat membaik.
Peran lembaga keuangan penting
diperhitungkan dalam membuat kebijakan ekonomi makro.
Dalam perekonomian, pasar tersegmentasi sehingga investor beroperasi
dalam pasar yang lebih spesifik, sehingga kebanyakan dari investor tersebut
terhubungkan oleh mekanisme arbitrase. Namun demikian, ketika beberapa investor
menarik dananya dari pasar (dengan berbagai alasan, misalnya karena terjadinya
kerugian dalam aktivitasnya; kehilangan akses terhadap sumber pendanaan; atau
masalah kelembagaan dalam perusahaan itu sendiri); maka dampak perubahan harga
yang terjadi pada satu pasar akan berakibat pada pasar lainnya. Dengan
demikian, bila hal ini terjadi (investor menarik dananya), maka dana yang
tersedia hanya yang berada di deposito perbankan saja, sementara itu yang
terjadi dalam perekonomian adalah
permintaan dana masyarakat melebihi dari dana yang ada di bank.
Dengan
demikian, suku bunga yang terjadi pada masing-masing pasar tidak lagi dapat
dihubungkan dengan mekanisme arbitrase, dan pada gilirannya kebijakan suku
bunga bank sentral tidak lagi cukup berpengaruh untuk mempengaruhi
perekonomian. Sehingga, intervensi bank sentral dengan kebijakan suku bunga yang
telah ditetapkan (baik dengan
menggunakan aset sebagai kolateral atau melalui pembelian secara langsung) dapat memberikan pengaruh
terhadap berbagai ragam harga aset. Dengan alasan inilah yang
menyebankan bank sentral pada masa krisis melakukan kebijakan credit easing.[15]
Persoalan
lain yang sering muncul pada masa krisis ekonomi adalah saat terjadinya boom dan bust dalam perkonomian, mendorong terjadinya deviasi harga
aset dari harga fundamentalnya, yang disebabkan bukan karena permintaan yang
tinggi terhadap aset tersebut, namun disebabkan oleh faktor spekulasi yang
terjadi pada aset tersebut. Kondisi inilah yang mendorong terjadinya pembelian
besar-besaran (eporia) aset saat perekonomian sedang bust, dan menjual aset tersebut saat
perekonomian dalam kondisi boom, yang
mendorong terdeviasinya harga aset dari harga fundamental.
Kebijakan fiskal bersifat countercyclical [16]merupakan
instrumen penting pada masa
krisis. Krisis
ekonomi telah mengembalikan kebijakan fiskal menjadi pusat dari kebijakan
makro, yang dilandasi oleh dua alasan utama. Pertama, pada saat kondisi dimana
kebijakan moneter (termasuk kebijakan yang mempengaruhi kredit perbankan dan quantitative easing[17]
) memiliki keterbatasan, pembuat kebijakan tidak punya plihan lain selain
memilih kebijakan fiskal. Kedua, dari sejak awal telah diperkiraan krisis
berlangsung panjang (long lasting),
sehingga jelas bahwa stimulus fiskal akan mempunyai pengaruh positip terhadap
perekonomian, meskipun terdapat time lag
yang cukup lama dalam kebijakan fiskal.
Dengan
demikikian dapat disimpulkan bahwa tentang pentingnya mempunyai ruang fiskal (fiscal space) yang besar, hal ini sejalan dengan diskusi awal
terkait dengan inflasi dan ruang kebijakan moneter untuk menurunkan suku bunga
nominal. Beberapa negara maju memasuki masa krisis dengan kondisi utang yang
besar dan kesulitan sumber dana untuk menjalankan kebijakan fiskal. Hal yang sama, beberapa emerging countries (terutama di Eropa Timur) yang menjalankan
kebijakan procyclical yang didorong
oleh konsumsi masyarakat yang tinggi (consumption
boom) dipaksa untuk memotong pengeluaran pemerintah dan menaikkan pajak. Hal
kontras terjadi pada beberapa emerging countries
lainnya yang mengalami krisis dengan kondisi utang yang rendah, sehingga
negara-negara ini dapat menggunakan kebijakan fiskal dengan agresif dengan tanpa
mempertimbangkan kondisi kesinambungan fiskal pada masa mendatang.
Respon
kebijakan fiskal secara agresif telah dijamin dapat berhasil, terutama dalam
masa krisis. Namun, namun
sering kali muncul kritik yang
menjelaskan kelemahan kebijakan fiskal yang bersifat discretionary untuk masa ekonomi lebih normal, terutama terkait
dengan terdapat lag yang panjang
untuk memformulasikan; menetapkan; dan mengimplementasikan kebijakan fiskal
(terutama sekali karena buruknya proses politik). Sebagai contoh, kebijakan
stimulus fiskal di Amerika Serikat ditetapkan 29 Febuari 2009 (lebih dari
setahun setelah krisis dimulai), dan hanya setengah pengeluaran pemerintah yang
telah ditetapkan dapat diserap sampai dengan akhir tahun 2009.
Krisis juga telah
memberikan pelajaran bahwa banyak
hal yang tidak diketahui secara dalam oleh policy maker sehubungan dengan dampak kebijakan fiskal, terutama
terkait dengan, misalnya: komposisi paket kebijakan fiskal; menaikkan
pengeluaran pemerintah atau mengurangi pajak; faktor yang mendasari kesinambungan utang
pemerintah. Hal ini merupakan topik bahasan yang sangat jarang didiskusiskan
saat masa sebelum krisis.
Regulasi terhadap lembaga keuangan mempunyai dampak terhadap kebijakan ekonomi makro. Regulasi yang
tidak pruden terhadap lembaga keuangan dapat memperburuk kondisi ekonomi makro.
Berikut beberapa contoh fakta yang terjadi. Lemahnya regulasi sektor keuangan
memberikan sumbangan besar dalam mentrasformasikan turunnya harga sektor
perumahan di Amerika terhadap
krisis ekonomi global, dan pada akhirnya menyebabkan police maker di beberapa negara melakukan penyesuaian kebijakan
ekonomi makro. Police maker di
beberapa negara, sebagai contoh yang terjadi pada krisis ekonomi Jepang pada
tahun 1990an, juga telah melakukan penyesuaian kebijakan ekonomi makro, ketika
lemahnya regulasi
sektor keuangan memberikan insentif kepada bank untuk menciptakan aktivitas off-balance sheet dalam neraca keuangan,
dalam upaya untuk menghindari aturan prudensial perbankan dan meningkatkan
modal. Demikian juga dengan regulasi
yang tidak prudensial telah mendorong lembaga keuangan seperti AIG, tidak
mematuhi aturan lembaga keuangan di pasar keuangan. Dari
contoh-contoh tersebut dapat disimpulkan
bahwa aturan
yang ditujukan untuk menggaransi terjadinya lembaga keuangan yang baik,
bertolak belakang dengan sistem stabilitas sektor keuangan yang ada dikarenakan
tidak prudensialnya aturan diterapkan, dan pada gilirannya membuat police maker melakukan penyesuaian
kebijakan ekonomi makro.
3. REFORMULASI
KEBIJAKAN EKONOMI MAKRO
Mengindentifikasi kelemahan
kebijakan makro saat krisis secara relatif tidak sulit, namun mendefinisikan
kebijakan makro yang cocok untuk menghadapi krisis adalah hal yang tidak mudah.
Meskipun demikian, krisis ekonomi memperlihatkan bahwa kebijakan ekonomi makro
harus mempunyai banyak target, sehingga krisis mengingatkan kita bahwa policy maker mempunyai
banyak instrumen, mulai dari kebijakan moneter yang luar biasa (exotic) ke instrumen fiskal, hingga
instrumen regulasi sektor keuangan. Tentunya memformulasikan kebijakan tersebut
membutuhkan waktu yang tidak sebentar; dan dengan riset mendalam, terkait
dengan kebijakan moneter, fiskal, dan regulasi sektor keuangan.
Namun
demikian, penting untuk dipertegas sejak awal bahwa hampir dari seluruh elemen
yang ada pada masa ekonomi normal—termasuk kesimpulan yang didapatkan dari
teori ekokomi makro—tetap digunakan, antara lain: target utamanya tetap output dan stabilitas ekonomi. Selanjutnya,
hipotesa natural rate of unemployment[18]
tetap berlaku, paling tidak untuk mendapatkan perkiraan yang cukup, dan pembuat
kebijakan seharusnya tidak mengasumsikan bahwa terjadi trade off jangka panjang antara inflasi dan pengangguran. Dengan
demikian, inflasi yang stabil tetap merupakan tujuan utama dari kebijakan
moneter; dan kesinambungan fiskal tetap merupakan esensi utama, tidak hanya
dalam jangka panjang, tetapi juga terhadap ekspektasi jangka pendek.
Haruskah target inflasi dinaikkan? Krisis
membuktikan bahwa shock terhadap
perekonomian dapat terjadi, yang bisa disebabkan dari krisis yang berasal sektor
keuangan, ataupun dari pengaruh lain pada masa mendatang, misalnya pengaruh
penurunan permintaan dunia (berakibat turunnya ekspor barang atau turisme)
ataupun pengaruh serangan teeroris. Pertanyaan yang muncul adalah: (i) haruskan
pembuat kebijakan membuat target inflasi yang lebih tinggi pada saat ekonomi
dalam kondisi normal atau stabil, agar supaya memberikan ruang kepada bank sentral
untuk melakukan kebijakan moneter pada saat terjadi shock dalam perekonomian ? (ii) seberapa berat biaya (cost) yang harus ditanggung bila target
inflasi lebih tinggi, misalnya 4 persen dibandingkan 2 persen? (iii) seberapa
sulit menentukan target jangkar (nominal
anchor) inflasi sebesar 4 persen dibanding 2 persen?
Pencapaian
inflasi rendah melalui kebijakan sentral bank yang independen merupakan sebuah
prestasi yang baik, terutama pada beberapa emerging
countries. Sehingga, untuk menjawab pertanyaan diatas, mengimplikasikan
bahwa pembuat kebijakan diharapkan untuk menjawab untung ruginya (cost benefit) dari inflasi.
Inflation tax [19]secara
jelas akan dapat mendistorsikan perekonomian. Banyak terjadinya distorsi dari
inflasi berasal dari sistem perpajakan (tax
system), yang bersifat tidak netral terhadap inflasi, misalnya berasal dari
sekeranjang nilai pajak nominal (nominal
tax bracket) atau dari pengurangan pembayaran bunga secara nominal. Tentunya
terkait dengan distorsi ini dapat diperbaiki dengan memberlakukan tingkat
optimalisasi inflasi yang lebih tinggi, misalnya, jika inflasi yang lebih
tinggi terkait dengan makin tingginya volatilitas inflasi, maka indexed bonds dapat memproteksi investor
dari terjadinya resiko inflasi. Terkait dengan distorsi lainnya yang perlu
diperhitungkan cost and benefitnya
adalah (i) turunnya nilai uang secara riil dan terdispersinya harga relatif[20]
dan (ii) dapat mengubah struktur perekonomian yang pada gilirannya memperburuk efektifitas
kebijakan moneter.
Dengan
demikian, terkait dengan dampak inflasi yang menyebabkan distorsi dalam
perekonomian, kata kunci untuk menjawab pertanyaan diatas adalah: apakah biaya
inflasi tersebut melebihi dari potensi keuntungan bila nilai nominal suku bunga
mendekati batas nol?
Mengkombinasikan kebijakan moneter dan
regulasi sektor keuangan. Krisis
ekonomi telah memberikan pelajaran bahwa kebijakan
suku bunga rendah menghadapi beberapa persoalan, antara lain (i) suku bunga
rendah dapat mendorong perusahaan dalam posisi excess
leverage[21] (ii) suku bunga
rendah mendorong bank memberikan
pinjaman kepada perusahaan/individu yang mempunyai aktivitas beresiko tinggi;
dan (iii) suku bunga rendah mendorong terjadinya terjadinya deviasi tinggi antara harga
aset dari harga fundamental. Sebaliknya, jika kebijakan suku bunga
tinggi yang diterapkan, maka
biaya (cost) yang ditanggung adalah
terjadi output gap yang lebih besar.
Untuk menjawab
pertanyaan ini maka bank sentral dapat menggunakan kebijakan lain, selain
penetapan suku bunga, yaitu kebijakan regulasi sektor keuangan yang dikenal dengan
istilah macroprudential, misalnya: (i) jika terdapat excess leverage, maka aturan rasio
kecukupan modal dapat dinaikkan; (ii) jika likuiditas terlalu rendah, maka
aturan rasio likuiditas dapat diperkenalkan, dan jika dibutuhkan dapat
dinaikkan (iii) untuk memperkecil harga sektor perumahan yang terlalu tinggi,
maka rasio loan-to-value [22]dapat
dikurangi (iv) untuk membatasi kenaikan harga saham, maka nilai margin requirement [23]dapat
ditingkatkan.
Tentunya
sudah dapat disadari bahwa tidak ada satu kebijakan yang dapat memuaskan
seluruh target. Dengan demikian langkah kebijakan yang dapat diambil adalah:
kebijakan suku bunga dapat digunakan untuk mencapai target untuk menaikkan
aktivitas perekonomian dan mengurangi inflasi; sementara itu, menggunakan
spesifik instrumen untuk memperbaiki aktivitas ekonomi persektor; persoalan
kelebihan atau kekurangan leverage;
atau terhadap gejolak yang terjadi pada perubahan harga aset.
Isu
terkait dengan hal tersebut diatas adalah terdapatnya rangkaian masalah
sehubungan dari dampak diterapkannya kebijakan suku bunga rendah terhadap
aktivitas beresiko. Jika hal ini terjadi, yaitu suku bunga rendah akan
mendorong terjadinya excessive leverage
atau banyaknya aktivitas beresiko tinggi, maka pertanyaan yang muncul adalah apakah bank sentral harus menetapkan suku
bunga lebih tinggi dibanding suku bunga yang telah standar ditetapkan (standard interest rule)? Dengan tidak
terdapatnya instrumen lain (selain kebijakan suku bunga), bank sentral
menghadapi pilihan yang sulit, yaitu menghadapi terjadinya output gap yang besar atau rendahnya aktivitas beresiko tinggi.
Namun, jika pembuat kebijakan mempunyai instrumen lain (selain suku bunga) yang
dapat secara langsung berpengaruh
terhadap excess leverage dan
aktivitas beresiko tinggi, maka masalah tersebut dapat diselesaikan menggunakan
instrumen lainnya, dibandingkan hanya menggantungkan
persoalan tersebut hanya pada kebijakan
pengendalian suku bunga, yaitu menggunakan kebijakan macroprudential.
Jika
kebijakan moneter dan aturan regulasi dikombinasikan, maka yang terjadi adalah
regulasi dan mekanisme prudensial perlu memperhatikan dimensi kebijakan ekonomi
makro. Sehingga alat kebijakan regulasi dan prudensial yang bersifat macroprudential (misalnya: rasio
kecukupan modal; rasio likuiditas; rasio loan-to-value;
dan margin requirement) perlu
diberlakukan untuk memantau perkembangan lembaga keuangan. Sebagaimana
keputusan kebijakan moneter, alat macroprudential
seharusnya terus diperbaharui secara regular; dan dapat diprediksi dalam upaya
untuk memaksimal keefektifanya melalui posisi kebijakan yang kredibel dan dapat
dipahami. Dalam hal ini, tantangan utamanya adalah mendapatkan posisi trade-off yang benar antara sistem yang
canggih [(dapat melakukan penyesuaian (fine-tuned)
terhadap terjadinya resiko sistemik], dan pendekatan berdasarkan aturan dan
regulasi sederhana yang mudah diimplementasikan.
Jika
kita menerima gagasan bahwa secara bersama sama kebijakan moneter dan
macroprudential menyediakan alat kebijakan untuk menghadapi gejolak
perekonomian (cyclical), maka muncul
isu terkait bagaimana koordinasi dicapai antara kebijakan moneter dan otoritas
pengendali regulasi lembaga keuangan, atau apakah cukup bank sentral saja yang seharusnya
bertanggung jawab terhadap kedua masalah tersebut.
Ide
untuk menyerahkan kebijakan moneter dan regulasi lembaga keuangan diserahkan
kepada lembaga yang berbeda tidak mendapatkan dukungan kuat. Secara jelas bank
sentral mempunyai tugas sebagai regulator untuk kebijakan ekonomi makro. Bank
sentral secara ideal diposisikan untuk melakukan monitor terhadap perkembangan
ekonomi makro, dan untuk beberapa negara bank sentral juga melakukan regulasi
terhadap bank. Namun demikian yang sering terjadi dilapangan, antara lain.
Pertama, sering terjadi masalah yang cukup besar dalam upaya untuk
mengkoornisasikan dua lembaga terpisah terkait dengan kebijakan moneter dan
regulasi lembaga keuangan pada masa krisis, seperti yang terjadi pada kasus bailout terhadap Northen Rock, saat
krisis glabal 2008. Kedua, potensi implikasi kebijakan moneter tehadap excess leverage dan aktivitas beresiko
tinggi masih menjadi tanggung jawab bank sentral.
Untuk
memecahkan kedua persoalan diatas adalah memberikan mandat untuk kebijakan
moneter dan regulasi sektor keuangan kepada bank sentral, dengan alasan sebagai
berikut. Pertama, bank sentral dapat melakukan kebijakan moneter yang lunak (softer) untuk menghindari inflasi karena
kebijakan kenaikan suku bunga mempunyai pengaruh buruk terhadap neraca keuangan
bank. Kedua, bank sentral akan mempunyai mandat yang lebih besar, sehingga akan
lebih sulit diawasi akuntabilitasnya. Dengan demikian, kedua argumen tersebut paling tidak
mengimplikasikan bahwa dibutuhkannya
tingkat transparansi yang lebih besar jika bank sentral diberi tanggung jawab
untuk melakukan regulasi di sektor keuangan.
Inflation
Targeting dan Intervensi Terhadap Nilai Tukar. Untuk kasus negara maju,
bank sentral yang mengadopsi kebijakan inflation
targeting secara khusus mempunyai argumen bahwa bank sentral hanya
memperhatikan kondisi nilai tukar jika mempunyai pengaruh terhadap inflasi.
Namun, untuk negara berkembang, bank sentral sangat memperhatikan kondisi nilai
tukar mata uang;
dan juga melakukan intervensi di pasar mata uang dalam upaya untuk menstabilkan
volatilitas mata uang; dan juga sering menetapkan tingkat nilai tukar mata uang.
Fluktuasi
besar nilai tukar dipengaruhi oleh tajamnya aliran modal keluar (seperti yang
terjadi pada pasa krisis) atau faktor lainnya yang dapat mengganggu aktivitas
ekonomi. Demikian juga, apresiasi nilai tukar
yang tajam dapat memperburuk sektor tradable,
dan pada akhirnya dapat mengurangi laju pertumbuhan ekspor. Tambahan pula,
ketika terdapat porsi yang besar dalam kontrak domestik yang didominasi oleh
mata uang asing, maka fluktuasi tajam dalam nilai tukar (terutama sekali
depresiasi mata uang) dapat memperburuk neraca keuangan perusahaan, yang pada
akhirnya memperburuk stabilitas keuangan;
yang pada gilirannya dapat memperburuk perekonomian secara keseluruhan.
Dengan
demikian, bank sentral di negara berkembang harus mempertegas bahwa stabilitas
nilai tukar juga merupakan merupakan tujuan utama kebijakan moneter, tentu saja
bukanlah mengimplikasikan bahwa inflation
targeting harus ditinggalkan. Sehingga, paling tidak dalam jangka pendek,
dalam rezim lalu lintas aliran modal terbuka bank sentral mempunyai alat
kebijakan kedua dalam upaya untuk memperbanyak cadangan devisa dan upaya untuk
melakukan strerilisasi.[24]
Dalam konteks ini dapat disimpulkan bahwa dengan menjaga stabilitas nilai tukar
maka bank sentral dapat mengkontrol target eksternal, sementara itu, target
internal bisa diserahkan kepada kebijakan pengendalian suku bunga.
Tentu
saja, sterilisasi yang dilakukan oleh bank sentral mempunyai keterbatasan,
sterilisasi dapat dilakukan jika tekanan terhadap aliran modal (capital account) cukup besar dan
berlangsung lama. Keterbatasan ini sangat spesifik untuk tiap negara dan akan
sangat tergantung dari keterbukaan sektor keuangan sebuah negara. Ketika bank
sentral menghadapi keterbatasan tersebut, maka penerapan kebijakan inflation targeting yang ingin
diterapkan secara konsisten menjadi tidak optimal, dan pada akhirnya gejolak
yang terjadi pada nilai tukar merupakan hal yang harus menjadi perhatian
penting. Hal ini memberikan contoh lain tentang pentingnya hubungan antara
kebijakan moneter dan regulasi lembaga keuangan seperti kita diskusikan pada
bagian sebelumnya. Sebagai contoh, jika regulasi sektor keuangan dapat mencegah
terjadinya kontrak menggunakan dollar (atau mengharuskan kepada perusahaan
untuk melakukan hedging bila akan
melakukan kontrak dalam dolar), maka akan memberikan kebebasan bagi kebijakan
moneter untuk membiarkan nilai tukar bergerak.
Menyediakan Likuiditas Lebih Banyak dalam
Perekonomian. Krisis ekonomi mendorong bank sentral memperluas ruang dan
skala aktivitasnya tidak hanya sebagai lenders
of last resort. Bank sentral
memperbesar likuiditas yang disuntikkan ke masyarakat untuk mendorong lembaga keuangan non-bank; dan melakukan
intervensi secara langsung (dengan membeli) atau secara tidak langsung
(menerima aset yang digunakan sebagai kolateral) dalam aktivitas pasar aset
yang lebih luas. Pertanyaannya: apakah kebijakan ini akan terus dilakukan pada
masa
ekonomi normal?
Sebagai
contoh, jika persoalan kekurangan likuiditas datang dari larinya investor dari
pasar tertentu atau karena terjadinya coordination
problem misalnya karena bank run,
maka pemerintah dapat melakukan intervensi. Dengan demikian, pemerintah
(berdasarkan tugas dan perannya, dan juga mempunyai dana yang bersifat jangka
panjang) dapat menggantikan peran swasta dikarenakan masyarakat kekurangan
likuiditas.
Terdapat
dua argumen yang menentang perlunya pemerintah untuk memperbesar likuiditas
dalam perekonomian. Pertama, pemberikan likuiditas yang berasal karena larinya
investor swasta merupakan persoalan solvency.
Sehingga, pemberikan likuditas ke masyarakat
akan memperburuk neraca keuangan pemerintah; dan dapat mendorong pemerintah akan selalu melakukan bailout, terus mendorong praktek moral hazard, sehingga pada gilirannya
akan terus mendorong aktivitas
beresiko. Kedua, pemberian likuiditas akan mendorong terjadinya lebih banyak mismatch dalam neraca keuangan bank
karena lebih banyaknya pinjaman (bersifat jangka panjang) dan deposito
(bersifat lebih pendek), sehingga bank akan kekurangan dana yang bersifat lebih
likuid.
Kedua
persoalan diatas dapat dipecahkan dengan menggunakan mekanisme pembuatan
asuransi (insurance fee) dan
pemotongan utang (haircut). Masalah
ini juga dapat diselesaikan dengan membuat aturan, dengan membuat daftar aset
yang pantas dapat digunakan sebagai kolateral (dalam hal ini ECB lebih baik
dibandingkan Federal Reserve dalam
hal membuat dafatar aset yang pantas dapat digunakan sebagai kolateral); dan
untuk lembaga keuangan, akses
terhadap likuiditas diatur dalam bentuk aturan dan regulasi.
Menciptakan Ruang Fiskal Lebih Besar Pada
Masa Ekonomi Baik. Pelajaran utama dari krisis adalah dibutuhkannya ruang
fiskal untuk melakukan kebijakan defisit anggaran lebih besar. Terdapat analogi
antara kebutuhan ruang fiskal dan kebutuhan suku bunga nominal yang lebih
tinggi. Jika pemerintah mempunya ruang lebih besar untuk menurunkan suku bunga
dan melakukan ekspansi fiskal, maka pemerintah akan lebih mudah melakukan
penyesuaian akibat krisis ekonomi.
Selanjutnya, tingkat kebutuhan penyesuaian fiskal akan sangat besar (dalam
proses pemulihan ekonomi), disamping pemerintah juga harus berupaya mengurangi
utang dengan tantangan akan terjadinya aging
population dan beban pembayaran pensiun dan program kesehatan untuk masa
mendatang. Sehingga pelajaran yang sangat jelas dari krisis adalah target utang
seharusnya lebih rendah dibanding sebelum masa krisis. Implikasi kebijakan
untuk masa mendatang (ketika akan semakin seringnya terjadi fluktuasi ekonomi)
adalah penyesuaian fiskal adalah suatu keharusan, dan jika perkonomian ingin
pulih lebih cepat (bila terjadi krisis) maka harus dilakukan pengurangan nilai
utang per GDP secara signifikan, dari pada melakukan kebijakan menaikkan
pengeluaran pemerintah dan mengurangi pajak.
Ide
untuk menciptakan tambahan ruang fiskal pada masa mendatang; dan memastikan
bahwa saat economic boom perlu
diperbaikinya posisi fiskal, dari pada hanya melakukan kebijakan stimulus
fiskal untuk menghadapi fluktuasi ekonomi, bukanlah hal baru, namun hal ini menjadi lebih
penting saat ekonomi menghadapi krisis. Untuk memperbaiki posisi fiskal tersebut yang perlu
dilakukan adalah: membentuk mekanisme fiskal jangka menengah; komitmen yang
kredibel untuk mengurangi utang per GDP; aturan fiskal yang jelas bila terjadi
krisis ekonomi. Tambahan pula,
pembentukan mekanisme pengeluaran pemerintah berdasarkan sisi penerimaan jangka
panjang akan dapat mengurangi pengeluaran pemerintah yang belebihan pada masa economy boom. Selanjutnya, menghilangkan
pendapatan pemerintah yang diperuntukkan untuk anggaran spesifik akan dapat
menghindari pemotongan pengeluaran pemerintah ketika terjadi pendapatan
pemerintah mengalami
penurunan.
Membentuk mekanisme Automatic Fiscal Stabilizers
yang Lebih Baik. Seperti diuraikan pada bagian sebelumnya, terdapat
problem dengan kebijakan fiskal yang bersifat discretionary, yaitu discretionary
fiscal datang terlambat untuk dapat memulihkan ekonomi akibat dari krisis.
Sehingga, timbul
pemikiran
untuk mengembangkan mekanisme kebijakan fiskal yang bersifat automatic stabilizer. Dalam hal ini, kita harus membedakan antara,
pertama, true automatic stabilizer–yaitu yang mempunyai sifat: berkurangnya
trasfer atau naiknya pendapatan pajak berdasarkan kondisi fluktuasi perekonomian—dan, kedua, terdapatnya aturan yang
mendorong transfer dan pajak
sehingga mempunyai nilai yang berbeda pada saat terjadinya fluktuasi
ekonomi.
Bentuk
pertama merupakan kombinasi dari (i) pengeluran pemerintah yang bersifat rigid dengan terdapatnya kondisi nilai
elastisitas dari pendapatan pemerintah terhadap output adalah satu (ii) terdapatnya program asuransi sosial (iii)
sifat dari pajak pendapatan yang bersifat
progresif. Dalam hal ini, kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah adalah
membuat pajak pendapatan lebih progresif atau membuat program asuransi sosial
lebih besar. Namun, bentuk kebijakan ini lebih berlandaskan untuk pemerataan
pendapatan dibandingkan upaya untuk penyesuaian ekonomi bila menghadapi
krisis.
Bentuk
kebijakan kedua akan lebih baik dibanding pertama. Dari sisi pajak, kebijakan
yang bersifat temporary tax police dengan
target utama adalah rumah tangga berpendapatan rendah, misalnya pemotongan
pajak yang dibayarkan kembali; persentase pengurangan utang pajak; atau kebijakan pengurangan
pajak untuk perusahaan sejalan dengan fluktuasi ekonomi. Dari sisi transfer, temporary transfer policy dengan target utama adalah rumah tangga berpendapatan
rendah atau rumah tangga yang mempunyai keterbatasan likuiditas.
4. PENUTUP &
KESIMPULAN
Krisis
ekonomi bukanlah dicetuskan oleh kebijakan ekonomi makro yang salah. Namun, krisis
memperlihatkan kelemahan kebijakan ekonomi makro yang dilakukan pada saat
sebelum krisis dimulai. Sehingga, policy
maker didorong untuk memformulasikan kebijakan ekonomi makro pada masa
krisis, dan juga mendorong pemerintah memformulasikan arsitektur baru kebijakan
ekonomi makro.
Dalam
banyak hal, kebijakan ekonomi makro yang dilakukan pada masa krisis tidak
banyak berbeda dengan masa stabil, tujuan utamanya tetap mencapai output yang tinggi, dan inflasi yang
stabil. Namun, krisis memperjelas bahwa police
maker harus memperhatikan banyak target, termasuk komposisi dari output;
perilaku harga aset; dan leverage
dari berbagai lembaga keuangan. Krisis juga memperjelas bahwa banyak instrumen
potensial yang tidak digunakan secara maksimal oleh police maker pada saat ekonomi stabil (sebelum krisis terjadi).
Dengan demikian, tantangannya adalah bagaimana menggunakan instrumen-instrumen
yang ada dengan cara terbaik. Kombinasi dari kebijakan moneter konvensional dan
regulasi lembaga keuangan; dan menggunakan automatic
stabilizer untuk kebijakan fiskal, merupakan cara yang baik untuk
menghadapi masa krisis (walaupun pada masa mendatang kebijakan ini perlu dikaji
lebih dalam lagi).
Krisis
juga mempertegas kembali kebijakan yang harus dilakukan, walaupun sebenarnya policy maker sudah tahu juga bahkan pada
saat ekonomi stabil. Rendahnya utang pemerintah pada masa ekonomi stabil akan
memberikan ruang yang cukup untuk melakukan kebijakan fiskal jika dibutuhkan. Terdapatnya
pengukuran yang baik dalam menilai regulasi yang prudensial; dan keberadaan data
akurat dan trasnparan dalam area
moneter, fiskal dan sektor keuangan merupakan hal penting yang harus dimiliki
sebuah negara. Dengan terdapatnya banyak pelajaran dari krisis, tugas policy maker tidak hanya harus membuat
kebijakan yang inovatif, namun juga dapat membantu negara untuk melakukan
penyesuaian ekonomi bila krisis terjadi.
DAFTAR
PUSTAKA
Blanchard, Olivier and Gian Maria Milesi-Ferreti (2009), Global Imbalance: In Midstream?, in IMF
Staff Position Paper, December, 2009.
Koo, Richard C (2008), The Holy Grail of Macroeconomics: Lessons from Japan's Great Recession, John Willey and Sons,
Singapore.
IMF (2009), Stoctaking of the G-20 Responses to the Global Banking
Crisis, in Group of Twenty
Meeting of the Ministers and Central Bank Governors, March 13–14, 2009 London,
United Kingdom.
Jácome, Luis I
and Erlend W. Nier (2012), Macroprudential
Policy: Protecting the Whole, in Finance and
Development, March 2012, IMF.
Koo, Richard C (2008), The Holy Grail of Macroeconomics: Lessons from Japan's Great Recession, John Willey and Sons,
Singapore.
Pass, Christoher and Bryan Lowes (1988), Dictionary of
Economics, Harper Collins Publishing, UK.
[1] Penulis adalah Kepala Sub Direktorat Perencanaan Ekonomi Makro Bappenas;
tamat S3 dari École Doctorale des
Sciences Économiques, dengan konsentrasi Macroeconomics
dan International Finance, Université d'Auvergne, Clermont-Ferrand, Perancis; pernah
bekerja pada Centre d’Etudes et de Recherches sur le Developpement International,
Perancis.
[2] Walaupun secara eksklusif bukannya bank
sentral saja yang dapat membantu mengurangi inflasi, pemerintah juga dapat
mengendalikan inflasi, terutama inflasi yang berasal dari sisi penawaran
[3]Output
Gap atau Produk Domestik Bruto (PDB) Gap
adalah selisih antara PDB potensial dan PDB aktual. Perhitungan PDB Gap adalah
Y-Y*, dimana Y adalah PDB aktual, dan Y* adalah PDB potensial. Bila hasil
perhitungannya positip maka dikenal dengan inflasi gap, yang mengindikasikan
bahwa pertumbuhan PDB dari sisi permintaan melebih sisi penawaran, yang pada
akhirnya akan mendorong inflasi; sebaliknya bila hasilnya negatif maka dikenal
dengan istilah resesi gap, yang memungkinkan akan mendorong terjadinya
deflasi.
[4]
Liquidity trap adalah situasi dimana
tingkat bunga adalah sedemikian rendahnya sehingga masyarakat lebih suka
memegang uang, dalam kondisi ini setiap usaha yang dilakukan melalui kebijakan
moneter untuk menekan tingkat bunga ke tingkat lebih rendah dalam rangka
mendorong investasi yang lebih besar akan sia sia, dan justru akan
mengakibatkan bertambahnya jumlah uang dipegang.
[5] Sebagai catatan, peristiwa krisis di
Jepang tahun 1990an ini mendapat perhatian signifikan dari Federal Reserve ketika mengamati kemungkinan akan terjadinya
deflasi pada tahun 2000an.
[6]
Kekecualian terjadi pada kebijakan moneter yang dilakukan oleh European Central Bank (ECB), yang
dikenal dengan sebutan two pillar policy,
dimana ECB juga menggunakan instrumen jumlah uang beredar, namun demikian
kebijakan ini sering dikritisi karena tidak dilandasi fondasi teori yang kuat.
[7]
Perilaku membeli sebuah produk pada satu pasar dan menjualnya di pasar yang lain
pada harga yang lebih tinggi untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar
karena terjadinya perbedaan harga pada kedua pasar tersebut.
[8]
Dalam ilmu ekonomi, Taylor Rule
adalah kebijakan moneter yang menetapkan seberapa besar bank sentral seharusnya
merubah suku bunga nominal dalam merespon kondisi inflasi; output dan kondisi perekonomian
lainnya. Khususnya, Taylor Rule
menetapkan bahwa setiap kenaikan inflasi sebesar satu poin, bank sentral harus
menaikkan suku bunga nominal lebih dari satu poin. Hal ini dikenal dengan
istilah Taylor Principle.
[9]
Bank
run terjadi ketika sejumlah besar nasabah mengambil depositnya karena
nasabah tersebut percaya bahwa bank dalam posisi insolvent (kondisi dimana perusahaan tidak mempunyai kemampuan untuk
membayar utangnya), atau menuju insolvent
pada masa mendatang. Ketika bank run
tersebut terjadi terus menerus, bank run
akan menuju posisi self-fulfilling
prophecy, yaitu kondisi dimana semakin banyak nasabah mengambil depositnya,
maka akan semakin besar akan terjadi kondisi default, dan terus mendorong nasabah lainnya akan menguras
depositonya. Hal ini pada akhirnya akan mendorong bank menuju posisi bangkrut.
[10] Dalam ilmu ekonomi internal balance
(keseimbangan internal) adalah situasi dimana sebuah negara dapat
mempertahankan kondisi kesempatan kerja penuh (full employment) dan harga yang stabil (price level stability); sementara itu kondisi external
balance (keseimbangan eksternal) adalah posisi dimana neraca transaksi
berjalan (current account) tidak
dalam kondisi surplus atau defisit yang terlalu besar. Untuk menuju kondisi internal dan external balance ini membutuhkan kebijakan fiskal dan moneter.
[11] Argumen Ricardian Equivalence adalah suatu posisi dimana konsumen
menginternalkan kondisi keterbatasan anggaran (budget constraint), dengan demikian timing untuk mengubah kebijakan pajak tidak akan berpengaruh
terhadap pengeluaran konsumen. Sehingga, Ricardian
Equivalence menjelaskan bahwa tidak menjadi masalah apakah pemerintah
membiayai pengeluarannya melalui utang atau menaikkan pajak karena dampaknya
terhadap perekonomian akan sama. Dengan kata lain, bila pemerintah berupaya
mendapatkan uang dari menerbitkan obligasi atau menaikkan pajak, karena
menerbitkan obligasi merupakan utang, dan utang harus dibayar pada masa
mendatang, sama artinya dengan menaikkan pajak untuk masa mendatang (future), dengan demikian pilihannya
menaikkan pajak “sekarang (now)” atau
“nanti (later)” Misalnya, pemerintah
butuh uang untuk membiayai pengelurannya dengan mengenakan pajak untuk masa
mendatang (later), ini sama artinya
masyarakat harus membayar pajak pada masa mendatang, sehingga masyarakat harus
menabung uangnya untuk membayar pajak untuk masa datang dengan cara membeli
obligasi, dan mengurangi konsumsinya. Kesimpulannya, dampak terhadap sisi
permintaan (aggregate demand) adalah
akan sama bila pemerintah memberlakukan
pajak saat ini (now).
[12]Automatic
stabilizers adalah sebuah
kebijakan yang mengurangi fluktuasi/gejolak perekonomian dengan tanpa mengubah
kebijakan. Misalnya sistem pajak pendapatan (income tax) dalam sebuah negara secara otomatis akan mengurangi
pajak ketika terjadi resesi. Income tax
biasanya dibuat dengan sistem progresif, artinya pendapatan rumah tangga akan
turun ketika resesi, sehingga rumah tangga secara otomatis membayar income tax lebih rendah saat resesi,
sehingga pendapatan pemerintah dari income
tax cenderung menurun cepat dibandingkan pendapatan rumah tangga.
[13]
Population aging adalah perubahan
distribusi penduduk menuju lebih banyaknya orang yang lebih tua pada masa
mendatang, dengan demikian beban untuk usia produktif menjadi lebih berat.
[14]
Pada masa economy boom seringkali
ekspansi kredit perbankan dikucurkan dengan tanpa regulasi yang prudensial,
sehingga dana dikucurkan untuk sektor beresiko tinggi, misalnya untuk membangun
apartemen. Kucuran dana besar ini cenderung mengarah terjadinya perekonomian
yang overheating, dan selanjutnya
bank sentral mengambil kebijakan menaikkan suku bunga. Menaikkan suku bunga ini
tidak mengindahkan apakah perbankan mempunyai pinjaman untuk beresiko tinggi
tersebut (apartemen). Kenaikan suku bunga menyebabkan peminjam harus membayar
utang lebih besar (dibanding sebelum kenaikan suku bunga) yang pada akhirnya
memperburuk neraca keuangan peminjam (perusahaan), dan pada gilirannya akan
menumpuk terjadinya jumlah non performing
loan di sektor perbankan.
[15] Dalam upaya merespon krisis global
2008-09, Ben Bernanke (Gubernur Bank Sentral AS) memperkenalkan program yang
dikenal dengan istilah credit easing,
yang mirip dengan BoJ dikenal dengan Quantitative
Easing (QE). Berbeda dengan QE, yang merupakan ekspansi neraca keuangan
bank sentral dengan fokus kebijakan pada cadangan bank sentral; sementara itu
dalam credit easing, fokusnya adalah
komposisi campuran antara pinjaman dan surat berharga yang dimiliki, dan
bagaimana komposisi tersebut dapat mempengaruhi jumlah kredit kepada perusahaan
dan rumah tangga.
[16]
Cyclical fluctuation (fluktuasi
siklus) merupakan gerakan jangka pendek, baik fluktuasi keatas maupun ke bawah dari beberapa variabel ekonomi di sekitar garis
secular trend (trend sekuler) dalam
jangka panjang. Dengan demikian countercyclical
merupakan kebijakan yang melawan cyclical
tersebut.
[17]
Quantitative
easing (QE) merupakan
kebijakan moneter yang tidak konvensional digunakan bank sentral untuk
mendorong perekonomian, ketika kebijakan moneter yang konvensional tidak
efektif. Dalam bentuk QE ini, bank sentral membeli aset financial untuk
menginjeksi perekonomian dengan sejumlah uang.
[18] The
natural
rate of unemployment adalah
tingkat pengangguran (unemployment)
umum yang sejalan dengan tingkat inflasi yang stabil.
[19]
Inflation
tax adalah kondisi dimana
berkurangnya nilai uang karena memegang uang kas atau obligasi tetap, karena
digrogoti oleh inflasi.
[20]
Meskipun hal ini secara fakta empiris sulit ditelusuri bila tingkat inflasi
masih bernilai satu digit.
[21] Leverage
atau capital gearing (pengungkit
mudal) adalah proporsi dari modal pinjaman berbunga tetap (loan capital) terhadap modal saham (share capital) suatu perusahaan. Apabila hampir seluruh modal
perusahaan berasal dari saham-saham yang diterbitkan dan sebagian kecil saja
yang berasal dari pinjaman bunga tetap, maka perusahaan mempunyai leverage yang rendah, demikian juga
sebaliknya.
[22] Loan-to-value ratios: Nilai maksimum rasio
loan-to value menaik dapat digunakan
untuk mengurangi resiko sistemik dalam episode boom-bust di pasar sektor property. Dengan membatasi sejumlah
pinjaman dibawah nilai property, maka rasio loan-to-value
dapat menolong untuk membatasi leverage
rumah tangga.
[23]
Margin
buying adalah membeli surat berharga dengan kas dari broker, dengan
menggunakan surat berharga lain sebagai kolateral. Hal ini mempunyai dampak
untuk memperbesar/menambah keuntungan atau kerugian dari surat berharga. Net value (nilai bersih) merupakan
perbedaan antara nilai surat berharga dan pinjaman, yang sama besarnya jumlah
yang dimiliki perusahan dalam bentuk kas. Nilai ini jumlahnya harus diatas nilai
minimum margin requirement,
yang bertujuan untuk memproteksi broker bila mengalami penurunan nilai surat
berharga dikarenakan investor tidak lagi mau memperpanjang pinjamannya.
[24] Sterilization
tindakan yang dilakukan oleh bank sentral untuk meniadakan dampak pengaruh uang
beredar yang disebabkan oleh surplus atau defisit neraca pembayaran, misalnya
bank sentral melakukan kebijakan operasi pasar terbuka dengan bertujuan untuk
menetralkan pengaruh dari operasi pasar nilai tukar.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusPak Yulius.. Boleh minta alamat email Anda Pak, ada bbrp pertanyaan yg ingin saya ajukan, Terima Kasih.
BalasHapusIta Rio (ita_rio@yahoo.com)
Play Online Casino Slots | Free Baccarat, Blackjack and - FBCASINO
BalasHapusPlay online casino games for free or real money at 바카라 사이트 our 바카라 online casino site. Slots, blackjack, baccarat, roulette, blackjack 메리트 카지노 and many other types of casino games.